Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid 1 Halaman 197-200
Kedatangan Malaikat Jibril kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Gua Hira'
Ibnu Ishaq berkata bahwa Wahb bin Kaisan berkata kepadaku, bahwa Ubaid berkata,
"Pada
bulan itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menetap di Gua
Hira'. Beliau memberi makan orang-orang miskin yang datang kepada
beliau. Usai melakukan hal itu, aktifitas pertama beliau ialah pergi ke
Ka'bah sebelum pulang ke rumahnya. Beliau thawaf di sekitar Ka'bah
sebanyak tujuh kali atau lebih. Usai thawaf, beliau pulang ke rumah.
Itulah yang terjadi hingga pada bulan di mana Allah berkehendak
memuliakan beliau dengan mengutus sebagai Nabi pada bulan Ramadhan. Pada
bulan tersebut, beliau ke Gua Hira' seperti biasanya dengan diikuti
keluarganya. Pada suatu malam Allah memuliakan beliau dengan memberi
risalah dan rnerahmati hamba-hambaNya dengan beliau, datanglah Malaikat
Jibril dengan membawa perintah Allah Ta 'ala. Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Salam bersabda, "Jibril datang kepadaku pada saat aku tidur
dengan membawa secarik kain Dibaj dan dalamnya terdapat tulisan.
Malaikat Jibril berkata, `Bacalah!' Aku berkata,`Alcu tidak bisa
membaca.' Malaikat Jibril mencekik leherku dengan kain Dibaj tersebut
hingga aku merasa seolah-olah sudah mati kemudian ia melepas cekikannya
dan berkata, `Bacalah!' Aku menjawab, 'Apa yang harus aku baca?'
Malaikat Jibril kembali mencekik leherku dengan kain Dibaj tersebut
hingga aku merasa seolah-olah sudah mati, kemudian ia melepas cekikannya
dan berkata, `Bacalah!' Aku berkata, 'Apa yang harus aku Baca?'
Jibril
kembali mencekik leherku dengan kain Dibaj tersebut hingga aku merasa
seolah-olah sudah mati, kemudian ia melepas cekikannya, dan berkata,
`Bacalah!' Aku berkata, 'Apa yang harus aku Baca?' Aku berkata seperti
itu dengan harapan ia mengulangi apa yang sebelumnya ia lakukan terhadap
diriku. Kemudian ia berkata, 'Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.' (Al-Ala: 1-5).
Aku pun membacanya, sedang Jibril pergi dari hadapanku.
Setelah
itu, aku bangun dari tidurku dan aku merasakan ada sesuatu yang
tertulis dalam hatiku. Kemudian aku keluar dari Gua Hira.
Ketika
aku berada di tengah-tengah gunung, tiba-tiba aku mendengar suara dari
langit, "Hai Muhammad, engkau utusan Allah dan aku adalah jibril". Aku
hadapkan kepalaku ke langit, saat itu kulihat jibril menjelma seperti
orang laki-laki yang membentangkan kedua lututnya ke ufuk langit. Jibril
berkata lagi, "Hai Muhammad, engkau utusan Allah, dan aku adalah
jibril". Aku berdiri untuk melihatnya tanpa maju dan mundur. Aku arahkan
pandanganku kepadanya di ufuk langit, dan aku tidak melihat arah
manapun melainkan aku lihat dia berada di sana. Aku berdiri diam
terpaku; tidak maju dan tidak mundur, hingga akhirnya Khadijah mengutus
orang-orangnya untuk mencariku. Mereka tiba di Makkah Atas dan kembali
menemui Khadijah, sedang aku tetap berdiri di tempatku semula."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Menceritakan apa Yang Dialaminya kepada Khadijah
Ibnu
Ishaq berkata bahwa Wahb bin Kaisan berkata kepadaku bahwa Ubaid
berkata, "Kemudian Jibril pergi dari hadapanku, dan aku pulang menemui
keluargaku. Ketika aku bertemu Khadijah, aku duduk di pahanya, dan
bersandar padanya. Khadijah berkata, 'Hai Abu Al-Qasim, di mana engkau
berada? Sungguh, aku telah mengutus orang-orangku untuk mencarimu hingga
mereka tiba di Makkah atas, kemudian pulang tanpa membawa hasil.'
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, `Kemudian aku ceritakan
kepada Khadijah kejadian yang baru aku alami. Khadijah berkata,
`Saudara misanku, bergembiralah, dan tegarlah. Demi Dzat yang jiwa
Khadijah berada di Tangan-Nya, sungguh aku berharap kiranya engkau
menjadi Nabi untuk umat ini'."
Khadijah Menceritakan apa Yang Dialami Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Waraqah bin Naufal
Ibnu
Ishaq berkata bahwa Wahb bin Kaisan berkata kepadaku bahwa Ubaid
berkata, "Khadijah berdiri dan mengemasi pakaiannya kemudian pergi ke
rumah Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai, saudara
misannya. Waraqah adalah pemeluk agama Nasrani, membaca kitab-kitab, dan
mendengar dan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Khadijah bercerita
kepadanya persis seperti yang diceritakan Rasulullah Shallallahu wa
Sallam kepadanya, bahwa beliau melihat dan mendengar sesuatu. Waraqah
bin Naufal berkata, `Mahasuci Allah. Mahasuci Allah. Demi Dzat yang jiwa
Waraqah ada di Tangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan benar, wahai
Khadijah, sungguh suamimu didatangi Jibril yang dulu pernah datang
kepada Musa. Sungguh suamimu adalah Nabi untuk umat ini. Katakan padanya
agar ia bersabar.' Kemudian Khadijah pulang menemui Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menceritakan perkataan Waraqah bin
Naufal kepada beliau."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bertemu Waraqah bin Naufal
Ibnu
Ishaq berkata bahwa Wahb bin Kaisan berkata kepadaku, bahwa Ubaid
berkata, "Usai melakukan penyendirian di Gua Hira', Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan aktifitas-aktifitas yang biasa
beliau lakukan. Beliau pergi ke Ka'bah, dan thawaf di sekitarnya. Ketika
beliau sedang thawaf, beliau bertemu dengan Waraqah bin Naufal. Waraqah
bin Naufal berkata kepada beliau, `Keponakanku, ceritakan kepadaku apa
yang telah engkau lihat dan engkau dengar!' Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menceritakan apa yang beliau lihat dan dengar kepada
Waraqah bin Naufal. Waraqah bin Naufal berkata, 'Demi Dzat yang jiwaku
berada di Tangan-Nya, sungguh engkau adalah Nabi untuk umat ini. Sungguh
telah datang kepadamu Malaikat Jibril yang dulu pernah datang kepada
Musa. Sungguh, engkau pasti akan didustakan, diganggu, diusir, dan
diperangi. Seandainya aku berada pada hail itu, pasti aku menolong Allah
dengan pertolongan yang diketahui-Nya.' Kemudian Waraqah bin Naufal
mendekatkan kepalanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
mencium ubun-ubun beliau. Setelah itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam pulang ke rumahnya."
Khadijah Radhiyallahu Anha Mencari Kejelasan tentang Wahyu
Ibnu
Ishaq berkata bahwa Ismail bin Abu Hakim, mantan budak keluarga
Az-Zubair berkata kepadaku bahwa ia diberitahu dan Khadijah Radhiyallahu
Anha,
"Khadijah
berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Hai saudara
misanku, bisakah engkau bercerita kepadaku tentang sahabatmu Malaikat
Jibril) yang datang kepadamu?' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
menjawab, `Ya, bisa.' Khadijah berkata, `Jika ia datang lagi kepadamu,
maka ceritakan kepadaku!' Tidak lama setelah itu, Jibril datang kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti biasanya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Khadijah, 'Hai Khadijah,
inilah Jibril datang kepadaku.' Khadijah berkata, Saudara misanku,
berdirilah dan duduklah di atas paha kiriku!' Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam berdiri lalu duduk di atas paha kiri Khadijah. Khadijah
berkata, `Apakah engkau melihatnya?' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam menjawab, 'Ya.' Khadijah berkata, `Rubah posisimu dan duduklah di
paha kananku!' Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam mengubah
posisinya dengan duduk di atas paha kanan Khadijah. Khadijah berkata,
`Apakah engkau masih melihatnya?' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam menjawab, `Ya.' Khadijah berkata, `Cobalah engkau duduk di atas
pangkuanku!' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengubah posisinya
dengan duduk di atas pangkuan Khadijah. Khadijah berkata, `Apakah engkau
masih melihatnya?' Rasulullah Shallallahu Alai hi wa Sallam menjawab,
`Ya.' Kemudian Khadijah duduk dengan kepala dan wajah terbuka, serta
melepas kerudungnya, sedang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
duduk di atas pangkuannya. Khadijah berkata, `Apakah engkau masih
melihatnya?' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, `Tidak.'
Khadijah berkata, Saudara misanku, bergembiralah dan bersabarlah. Demi
Allah, sungguh dia adalah malaikat dan bukan syetan."
Ibnu
'shaq berkata bahwa aku pernah berdiskusi dengan Abdullah bin Hasan
tentang hadits di atas. Abdullah bin Hasan berkata, "Aku pernah
mendengar ibuku, Fathimah binti
Husain
menceritakan hadits tersebut dari Khadijah, namun aku pernah mendengar
ibuku berkata, `Khadijah memasukkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam ke dalam dir'un (baju rumah wanita) miliknya, kemudian pada saat
itulah Jibril pergi dari hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Khadijah berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
'Sungguh, dia adalah malaikat dan bukan syetan' ."
Sumber : Mengenal Islam
Artikel Sejarah Nabi Muhamad SAW
Selasa, 24 Februari 2015
SEJARAH MAULID NABI
- Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
- “Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan:
- “Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”
Ilustrasi: kajiansunnah.net
Orang yang
memperhatikan sejarah Nabi saw, serta sejarah para sahabat dan para
tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H,
tidak akan mendapatkan seorangpun dari umat Islam yang mengadakan
mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan
membicarakannya. Imam al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya
berkata: “Perayaan maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf
shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik
adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para
ulama, atau para raja, atau oleh para khulafa` ahlus sunnah yang
dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan
memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi,
Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh)
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui
seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir
dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan
membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam
kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah
maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah
merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali
melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka
juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh
al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk.
Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun
488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah
ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat
yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga
kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan
instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517
H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa
al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
“Menyebut hari-hari di mana para
khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan,
pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di
sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari
Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari
Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid
Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal
Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan,
Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari
Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim
hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan
Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari
Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum
Paskah), dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul
Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan
Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di
malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di
tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.”
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan
Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath;
1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka
Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi
menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya.
Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus)
terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah,
Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya
Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari raya
Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal Bida’
(1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut:
“Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum
muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar
mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia
berkata,
“Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, “Di antara
sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang
muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/
maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama
Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan
tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya
Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia
menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui
kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika
datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi
menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada
tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin
di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang
menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini
kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh
khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika
Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid
ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu
Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H
perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan
Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia
seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat
kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah
mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan
qarquz, Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka
bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari
pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar
Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik
dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada
satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke
12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing.
Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih
sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab
al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama
melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn
Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa
Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam
Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja
Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan
qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur
hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam
joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan
100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang
dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar.
Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar
adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan
mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj
Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.”
(Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis,
seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin
Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang
wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad
yang wafat tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid.
Di antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali
al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang
wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam
alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul
Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852),
as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap
baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel
pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah
yang artinya:
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam
Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn
Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan
nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi)
Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat
Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah,
ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau
pesta atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita
mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah
(kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang
menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan
kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan
obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang
diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup
tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya
ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang
dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?” [*]
sumber : www.qiblati.com
Minggu, 22 Februari 2015
Sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW sampai Kerasulannya
Sebagai umat muslim, kita sebaiknya harus mengenal sosok
nabi besar Muhammad SAW. Nabi yang telah mengajarkan agama islam kepada kita. Nabi
yang dijadikan panutan dan teladan bagi umat muslim di dunia. Dibawah ini
adalah ulasan tentang sejarah singkat nabi Muhammad SAW mulai dari kelahiran
hingga wafat beliau.
Muhammad bin Abdullāh (lahir di Mekkah, 20 April 570 –
meninggal di Madinah, 8 Juni 632 pada umur 62 tahun) adalah seorang nabi dan
rasul yang terakhir bagi umat Muslim. Muhammad menciptakan ajaran dan ilmu
pengetahuan berupa agama Islam. Yang kemudian menjadi agama terbesar di dunia
ini. Pengaruh dari nabi Muhammad SAW, membuat seorang penulis buku Michael H.
Hart dalam bukunya The 100 menilai Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh
sepanjang sejarah manusia.
Silsilah keluarga
Muhammad
Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab
bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin
an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan.[15] Adnan merupakan keturunan laki-laki
ke tujuh dari Ismail bin Ibrahim, yaitu keturunan Sam bin Nuh.
Lebih lengkap silsilahnya dari Muhammad hingga Adam adalah
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin
Qushaybin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (Quraisy) bin
Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzayma bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Udad bin al-Muqawwam bin Nahur bin Tayrah bin
Ya'rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin Tarih(Azar) bin Nahur bin
Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh
bin Lamikh bin Mutusyalikh bin Akhnukh binYarda bin Mahlil bin Qinan bin Yanish
bin Syits bin Adam.
Nasab ini disebutkan oleh Muhammad bin Ishak bin Yasar
al-Madani di salah satu riwayatnya. Nasab Rasulullah sampai Adnan disepakati
oleh para ulama, sedangkan setelah Adnan terjadi perbedaan pendapat. Maksud
dari Quraisy adalah putra Fihr bin Malik atau an-Nadhr bin Kinanah
Kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Pada masa kelahiran Nabi Muhammad SAW terdapat kejadian yang
luar biasa yaitu ada serombongan pasukan Gajah yang dipimpin Raja Abrahah
(Gubernur kerajaan Habsyi di Yaman) hendak menghancurkan Kakbah karena negeri
Makkah semakin ramai dan bangsa Quraisy semakin terhormat dan setiap tahunnya
selalu padat umat manusia untuk haji. Ini membuat Abrahah iri dan Abrahah
berusaha membelokkan umat manusia agar tidak lagi ke Makkah. Abrahah mendirikan
gereja besar di Shan’a yang bernama Al-Qulles. Namun tak seorang pun mau datang
ke gereja Al Qulles itu. Abrahah marah besar dan akhirnya mengerahkan tentara
bergajah untuk menyerang Kakbah. Didekat Makkah pasukan bergajah merampas harta
benda penduduk termasuk 100 ekor Unta Abdul Muthalib
Keadaan kota Makkah sepi tentara Abrahah dengan leluasa masuk Makkah dan siap untuk menghancurkan Kakbah. Namun kejadian tersebut telah digagalkan oleh Allah SWT dengan mengutus burung Ababil untuk membawa kerikil Sijjil dengan paruhnya. Kerikil itu dijatuhkan tepat mengenai kepala masing-masing pasukan bergajah tersebut hingga tembus ke badan sampai mati. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al Fiil ayat 1-5. (QS 105 :1-5). Pasukan bergajah hancur lebur mendapat adzab dari Allah SWT.
Keadaan kota Makkah sepi tentara Abrahah dengan leluasa masuk Makkah dan siap untuk menghancurkan Kakbah. Namun kejadian tersebut telah digagalkan oleh Allah SWT dengan mengutus burung Ababil untuk membawa kerikil Sijjil dengan paruhnya. Kerikil itu dijatuhkan tepat mengenai kepala masing-masing pasukan bergajah tersebut hingga tembus ke badan sampai mati. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al Fiil ayat 1-5. (QS 105 :1-5). Pasukan bergajah hancur lebur mendapat adzab dari Allah SWT.
Pada masa itu tepatnya hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal
tahun Gajah lahir bayi yang diberi nama Muhammad dari kandungan ibu Aminah dan
yang ber-ayahkan Abdullah. Para penulis sirah (biografi) Muhammad pada umumnya
sepakat bahwa ia lahir pada Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M, yang merupakan
tahun gagalnya Abrahah menyerang Mekkah. Muhammad lahir di kota Mekkah, di
bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah
paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan.
Beliau lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya, Abdullah, meninggal dalam
perjalanan dagang di Madinah, yang ketika itu bernama Yastrib, ketika Muhammad
masih dalam kandungan. Ia meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan
biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aimanyang kemudian mengasuh
Nabi.
Masa Menyusui
Nabi Muhammad saw pertama kalinya disusui oleh ibunya Aminah
dan Tsuwaibatul Aslamiyah. Namun itu hanya beberapa hari. Selanjutnya beliau
disusui oleh Halimah As-Sa’diyah di perkampungan bani Sa’ad.
Nabi Muhammad saw tinggal bersama keluarga Halimah selama
kurang lebih empat tahun. Di akhir masa pengasuhan keluarga Halimah ini terjadi
pembedahan nabi Muhammad saw.
Masa Kanak-Kanak Nabi
Muhammad SAW hingga Masa Kerasulannya
Kebiasaan di kalangan pemuka pada saat itu apabila mempunyai bayi, maka bayi yang baru lahir itu dititipkan kepada kaum ibu pedesaan. Dengan tujuan agar dapat menghirup udara segar dan bersih serta untuk menjaga kondisi tubuh ibunya agar tetap sehat.
Menurut riwayat, setelah Muhammad dilahirkan disusui oleh ibunya hanya beberapa hari saja, Tsuaibah menyusui 3 hari setelah itu oleh Abdul Munthalib disusukan kepada Halimah Sa’diyah istri Haris dari kabilah Banu Saad.
Semenjak kecil Muhammad memiliki keistimewaan yaitu badannya cepat besar, umur 5 bulan sudah dapat berjalan dan umur 2 th sudah lancar berbicara serta umur 9 th sudah menggembalakan kambing dan wajahnya memancarkan cahaya.
Kebiasaan di kalangan pemuka pada saat itu apabila mempunyai bayi, maka bayi yang baru lahir itu dititipkan kepada kaum ibu pedesaan. Dengan tujuan agar dapat menghirup udara segar dan bersih serta untuk menjaga kondisi tubuh ibunya agar tetap sehat.
Menurut riwayat, setelah Muhammad dilahirkan disusui oleh ibunya hanya beberapa hari saja, Tsuaibah menyusui 3 hari setelah itu oleh Abdul Munthalib disusukan kepada Halimah Sa’diyah istri Haris dari kabilah Banu Saad.
Semenjak kecil Muhammad memiliki keistimewaan yaitu badannya cepat besar, umur 5 bulan sudah dapat berjalan dan umur 2 th sudah lancar berbicara serta umur 9 th sudah menggembalakan kambing dan wajahnya memancarkan cahaya.
Muhammad diasuh Halimah selama 6 th. Pada usia 4 th Muhammad
didekati oleh malaikat Jibril dan menelentangkannya lalu membelah dada dan
mengeluarkan hati serta segumpal darah dari dada nabi Muhammad SAW lalu Jibril
mencucinya kemudian menata kembali ke tempatnya dan Muhammad tetap dalam
keadaan bugar.
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, Halimah khawatir dan mengembalikan Muhammad ke ibundanya. Pada usia 6 th nabi diajak Ibunya untuk berziarah ke makam ayahnya di Yatsrib dengan perjalanan 500 km. Dalam perjalanan pulang ke Makkah Aminah sakit dan akhirnya meninggal di Abwa yang terletak antara Makkah dan Madinah.
Nabi Muhammad lantas ditemani Ummu Aiman ke Makkah dan diantarkan ke tempat kakeknya yaitu Abdul Munthalib. Sejak itu Nabi menjadi yatim piyatu tidak punya ayah dan ibu. Abdul Munthalib sangat menyayangi cucunya ini (Muhammad) dan pada usia 8 th 2 bl 10 hari Abdul Munthalib wafat. Kemudian Nabi diasuh oleh pamannya yang bernama Abu Thalib.
Abu Thalib mengasuh menjaga nabi sampai umur lebih dari 40 th. Pada usia 12 th nabi diajak Abu Thalib berdagang ke Syam. Di tengah perjalanan bertemu dengan pendeta Bahira. Untuk keselamatan nabi Bahira meminta abu Thalib kembali ke Makkah.
Ketika Nabi berusia 15 th meletus perang Fijar antara kabilah Quraisy bersama Kinanah dengan Qais Ailan. Nabi ikut bergabung dalam perang ini dengan mengumpulkan anak-anak panah buat paman-paman beliau untuk dilemparkan kembali ke musuh.
Pada masa remajanya Nabi Muhammad biasa menggembala Kambing dan pada usia 25 th menjalankan barang dagangan milik Khadijah ke Syam. Nabi Muhammad SAW dipercaya untuk berdagang dan ditemani oleh Maisyarah. Dalam berdagang nabi SAW jujur dan amanah serta keuntungannya melimpah ruah.
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, Halimah khawatir dan mengembalikan Muhammad ke ibundanya. Pada usia 6 th nabi diajak Ibunya untuk berziarah ke makam ayahnya di Yatsrib dengan perjalanan 500 km. Dalam perjalanan pulang ke Makkah Aminah sakit dan akhirnya meninggal di Abwa yang terletak antara Makkah dan Madinah.
Nabi Muhammad lantas ditemani Ummu Aiman ke Makkah dan diantarkan ke tempat kakeknya yaitu Abdul Munthalib. Sejak itu Nabi menjadi yatim piyatu tidak punya ayah dan ibu. Abdul Munthalib sangat menyayangi cucunya ini (Muhammad) dan pada usia 8 th 2 bl 10 hari Abdul Munthalib wafat. Kemudian Nabi diasuh oleh pamannya yang bernama Abu Thalib.
Abu Thalib mengasuh menjaga nabi sampai umur lebih dari 40 th. Pada usia 12 th nabi diajak Abu Thalib berdagang ke Syam. Di tengah perjalanan bertemu dengan pendeta Bahira. Untuk keselamatan nabi Bahira meminta abu Thalib kembali ke Makkah.
Ketika Nabi berusia 15 th meletus perang Fijar antara kabilah Quraisy bersama Kinanah dengan Qais Ailan. Nabi ikut bergabung dalam perang ini dengan mengumpulkan anak-anak panah buat paman-paman beliau untuk dilemparkan kembali ke musuh.
Pada masa remajanya Nabi Muhammad biasa menggembala Kambing dan pada usia 25 th menjalankan barang dagangan milik Khadijah ke Syam. Nabi Muhammad SAW dipercaya untuk berdagang dan ditemani oleh Maisyarah. Dalam berdagang nabi SAW jujur dan amanah serta keuntungannya melimpah ruah.
Perkenalan dengan
Khadijah
Ketika Muhammad mencapai usia remaja dan berkembang menjadi
seorang yang dewasa, ia mulai mempelajari ilmu bela diri dan memanah,
begitupula dengan ilmu untuk menambah keterampilannya dalam berdagang.
Perdagangan menjadi hal yang umum dilakukan dan dianggap sebagai salah satu
pendapatan yang stabil. Muhammad sering menemani pamannya berdagang ke arah
Utara dan kabar tentang kejujuran dan sifatnya yang dapat dipercaya menyebar
luas dengan cepat, membuatnya banyak dipercaya sebagai agen penjual perantara
barang dagangan penduduk Mekkah.
Salah seseorang yang mendengar tentang kabar adanya anak
muda yang bersifat jujur dan dapat dipercaya dalam berdagang dengan adalah
seorang janda yang bernama Khadijah. Ia adalah seseorang yang memiliki status
tinggi di kalangan suku Arab. Sebagai seorang pedagang, ia juga sering mengirim
barang dagangan ke berbagai pelosok daerah di tanah Arab. Reputasi Muhammad
membuat Khadijah mempercayakannya untuk mengatur barang dagangan Khadijah,
Muhammad dijanjikan olehnya akan dibayar dua kali lipat dan Khadijah sangat
terkesan ketika sekembalinya Muhammad membawakan hasil berdagang yang lebih
dari biasanya.
Seiring waktu akhirnya Muhammad pun jatuh cinta kepada
Khadijah, mereka menikah pada saat Muhammad berusia 25 tahun. Saat itu Khadijah
telah berusia mendekati umur 40 tahun, namun ia masih memiliki kecantikan yang
dapat menawan Muhammad. Perbedaan umur yang jauh dan status janda yang dimiliki
oleh Khadijah tidak menjadi halangan bagi mereka, walaupun pada saat itu suku
Quraisy memiliki budaya yang lebih menekankan kepada perkawinan dengan seorang
gadis ketimbang janda. Meskipun kekayaan mereka semakin bertambah, Muhammad
tetap hidup sebagai orang yang sederhana, ia lebih memilih untuk menggunakan
hartanya untuk hal-hal yang lebih penting.
Memperoleh Gelar
Sebelum masa kenabian, Muhammad mendapatkan dua julukan dari
suku Quraisy (suku terbesar di Mekkah yang juga suku dari Muhammad) yaitu Al-Amiin
yang artinya "orang yang dapat dipercaya" dan As-Saadiq yang artinya
"yang benar". Setelah masa kenabian para sahabatnya memanggilnya
dengan gelar Rasul Allāh ,kemudian menambahkan kalimat Shalallaahu 'Alayhi
Wasallam, yang berarti "semoga Allah memberi kebahagiaan dan keselamatan
kepadanya"; sering disingkat "S.A.W" atau "SAW")
setelah namanya.
Muhammad juga mendapatkan julukan Abu al-Qasim yang berarti
"bapak Qasim", karena Muhammad pernah memiliki anak lelaki yang
bernama Qasim, tetapi ia meninggal dunia sebelum mencapai usia dewasa.
Ketika Muhammad berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum
Quraisy dalam perbaikan Kakbah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy
berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Muhammad dapat
menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian adil. Saat itu ia
dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya
sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang artinya
"orang yang dapat dipercaya".
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad adalah orang yang percaya
sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan
membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa
Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak mampu
dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka.
Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa
Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar
dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang berarti "yang
benar".
Di dalam HR Bukhari dan Muslim disebutkan nama dan gelar
Nabi Muhammad SAW, antara lain :
- Ahmad
- Al-Mahi
- Al-Hasyir
- Al-'Aqib
- Muqaffi
- Nabiyyuttaubah
- Nabiyyurrahmah.
Pengertian nama-nama nabi Muhammad Saw :
Ahmad : yang paling terpuji karena akhlak karimahnya, dan
paling banyak memuji Allah.
Al-Mahi ( pengikis/penghapus) : karena Allah mengikis
kekufuran dengan mengutusnya,
Al-Hasyir (penghimpun) : sebab nanti di hari kiamat seluruh
manusia berhimpun di hadapan beliau, ada yang mengatakan di bawah perintah
beliau.
Al-'Aqib (penutup) : karena beliaulah nabi dan rasul
penutup.
Muqaffi (yang mengikuti) : maksudnya mengikuti dan
melanjutkan jejak risalah para nabi.
Nabiyyuttaubah (nabi taubat) : meski beliau sudah ma'shum
dalam artian bersih dari dosa, namun beliau banyak bertaubat. Dalam satu
riwayat beliau bertaubat hingga 70 kali sehari, dan dalam riwayat lain hingga
100 kali.
Nabiyyurrahmah (nabi ramhat) : beliau adalah seorang nabi
yang penuh kasih hatta dalam peperangan pun, diutusnya beliau ke bumi ini
adalah sebagai rahmat bagi semesta alam.
Nama-nama tersebut berdasarkan penuturan beliau sendiri. Dan
kita tahu bahwa setiap sabda beliau adalah berdasarkan wahyu. Jadi bisa
disimpulkan bahwa yang memberi nama/gelar tersebut adalah Allah Swt.
Sifat-Sifat
Rasulullah SAW
Rasulullah SAW mempunyai sifat yang baik yaitu:
a). Siddiq
Siddiq artinya jujur dan sangat tidak mungkin Rasulullah bersifat bohong (kidzib) Rasulullah sangat jujur baik dalam pekerjaan maupun perkataannya. Apa yang dikatakan dan disampaikan serta yang diperbuat adalah benar dan tidak bohong. Karena akhlak Rasulullah adalah cerminan dari perintah Allah SWT.
b). Amanah
Amanah artinya dapat dipercaya. Sangat tidak mungkin Rasulullah bersifat Khianat atau tidak dapat dipercaya. Rasulullah tidak berbuat yang melanggar aturan Allah SWT. Rasulullah taat kepada Allah SWT. Dan dalam membawakan risalah sesuai dengan petunjuk Allah SWT tidak mengadakan penghianatan terhadap Allah SWT maupun kepada umatnya.
c). Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Rasulullah sangat tidak mungkin untuk menyembunyikan (kitman). Setiap wahyu dari Allah disampaikan kepada umatnya tidak ada yang ditutup- tutupi atau disembunyikan walaupun yang disampaikan itu pahit dan bertentangan dengan tradisi orang kafir. Rasulullah menyampaikan risalah secara sempurna sesuai dengan perintah Allah SWT.
d). Fathonah
Fathonah artinya cerdas. Sangat tidak mungkin Rasul bersifat baladah atau bodoh. Para Rasul semuanya cerdas sehingga dapat menyampaikan wahyu yang telah diterima dari Allah SWT. Rasul adalah manusia pilihan Allah SWT maka sangat tidak mungkin Rasul itu bodoh. Apabila bodoh bagaimana bisa menyampaikan wahyu Allah.
Rasulullah SAW mempunyai sifat yang baik yaitu:
a). Siddiq
Siddiq artinya jujur dan sangat tidak mungkin Rasulullah bersifat bohong (kidzib) Rasulullah sangat jujur baik dalam pekerjaan maupun perkataannya. Apa yang dikatakan dan disampaikan serta yang diperbuat adalah benar dan tidak bohong. Karena akhlak Rasulullah adalah cerminan dari perintah Allah SWT.
b). Amanah
Amanah artinya dapat dipercaya. Sangat tidak mungkin Rasulullah bersifat Khianat atau tidak dapat dipercaya. Rasulullah tidak berbuat yang melanggar aturan Allah SWT. Rasulullah taat kepada Allah SWT. Dan dalam membawakan risalah sesuai dengan petunjuk Allah SWT tidak mengadakan penghianatan terhadap Allah SWT maupun kepada umatnya.
c). Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Rasulullah sangat tidak mungkin untuk menyembunyikan (kitman). Setiap wahyu dari Allah disampaikan kepada umatnya tidak ada yang ditutup- tutupi atau disembunyikan walaupun yang disampaikan itu pahit dan bertentangan dengan tradisi orang kafir. Rasulullah menyampaikan risalah secara sempurna sesuai dengan perintah Allah SWT.
d). Fathonah
Fathonah artinya cerdas. Sangat tidak mungkin Rasul bersifat baladah atau bodoh. Para Rasul semuanya cerdas sehingga dapat menyampaikan wahyu yang telah diterima dari Allah SWT. Rasul adalah manusia pilihan Allah SWT maka sangat tidak mungkin Rasul itu bodoh. Apabila bodoh bagaimana bisa menyampaikan wahyu Allah.
Masa Ketika Menjadi
Rasul
Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang
yang senang dengan kekerasan dan pertempuran dan menjelang usianya yang ke-40,
ia sering menyendiri ke Gua Hira' sebuah gua bukit sekitar 6 km sebelah timur
kota Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur. Ia bisa berhari-hari
bertafakur (merenung) dan mencari ketenangan dan sikapnya itu dianggap sangat
bertentangan dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut yang senang
bergerombol. Dari sini, ia sering berpikir dengan mendalam, dan memohon kepada
Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan.
Muhammad pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari
tanggal 17 Ramadhan/ 6 Agustus 611 M, diriwayatkan Malaikat Jibril datang dan
membacakan surah pertama dari Quran yang disampaikan kepada Muhammad, yaitu
surah Al-Alaq. Muhammad diperintahkan untuk membaca ayat yang telah disampaikan
kepadanya, namun ia mengelak dengan berkata ia tak bisa membaca. Jibril
mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap
sama. Jibril berkata:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah,
yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Al-Alaq 96: 1-5)”
Muhammad berusia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari ketika ayat
pertama sekaligus pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepadanya menurut
perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3
bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan
berdasarkan matahari). Setelah kejadian di Gua Hira tersebut, Muhammad kembali
ke rumahnya, diriwayatkan ia merasakan suhu tubuhnya panas dan dingin secara
bergantian akibat peristiwa yang baru saja dialaminya dan meminta istrinya agar
memberinya selimut.
Diriwayatkan pula untuk lebih menenangkan hati suaminya,
Khadijah mengajak Muhammad mendatangi saudara sepupunya yang juga seorang
Nasrani yaitu Waraqah bin Naufal. Waraqah banyak mengetahui nubuat tentang nabi
terakhir dari kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang
dialami Muhammad, Waraqah pun berkata, bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan
menjadi seorang nabi. Kemudian Waraqah menyebutkan bahwa An-Nâmûs al-Akbar
(Malaikat Jibril) telah datang kepadanya, kaumnya akan mengatakan bahwa ia
seorang penipu, mereka akan memusuhi dan melawannya.
Muhammad menerima ayat-ayat Quran secara berangsur-angsur
dalam jangka waktu 23 tahun. Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian
faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Quran turun disertai
oleh Asbabun Nuzul (sebab/kejadian yang mendasari penurunan ayat). Ayat-ayat
yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi bernama Al Mushaf yang juga
dinamakan Al- Qurʾān (bacaan).
Sebagian ayat Quran mempunyai tafsir atau pengertian yang
izhar (jelas), terutama ayat-ayat mengenai hukum Islam, hukum perdagangan,
hukum pernikahan dan landasan peraturan yang ditetapkan oleh Islam dalam aspek
lain. Sedangkan sebagian ayat lain yang diturunkan pada Muhammad bersifat samar
pengertiannya, dalam artian perlu ada interpretasi dan pengkajian lebih
mendalam untuk memastikan makna yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini
kebanyakan Muhammad memberi contoh langsung penerapan ayat-ayat tersebut dalam
interaksi sosial dan religiusnya sehari-hari, sehingga para pengikutnya
mengikutinya sebagai contoh dan standar dalam berperilaku dan bertata krama
dalam kehidupan bermasyarakat.
Mendapatkan Pengikut
Selama tiga tahun pertama sejak pengangkatannya sebagai
rasul, Muhammad hanya menyebarkan Islam secara terbatas di kalanganteman-teman
dekat dan kerabatnya, hal ini untuk mencegah timbulnya reaksi akut dan masif
dari kalangan bangsa Arab saat itu yang sudah sangat terasimilasi budayanya
dengan tindakan-tindakan amoral, yang dalam konteks ini bertentangan dengan apa
yang akan dibawa dan ditawarkan oleh Muhammad. Kebanyakan dari mereka yang
percaya dan meyakini ajaran Muhammad pada masa-masa awal adalah para anggota
keluarganya serta golongan masyarakat awam yang dekat dengannya di kehidupan
sehari-hari, antara lain Khadijah, Ali, Zaid bin Haritsah dan Bilal. Namun pada
awal tahun 613, Muhammad mengumumkan secara terbuka menyiarkan agama Islam.
Setelah Rasulullah SAW menerima wahyu kedua mulailah beliau
dakwah secara sembunyi-sembunyi dengan mengajak keluarganya dan sahabat-sahabat
beliau seorang demi seorang masuk Islam.
Orang-orang yang pertama-tama masuk Islam adalah:
a). Siti Khadijah (Istri Nabi SAW)
b). Ali Bin Abi Thalib (Paman Nabi SAW)
c). Zaid Bin Haritsah (Anak angkat Nabi SAW)
d). Abu Bakar Ash-Shidiq (Sahabat Dekat Nabi SAW)
Orang-orang yang pertama-tama masuk Islam adalah:
a). Siti Khadijah (Istri Nabi SAW)
b). Ali Bin Abi Thalib (Paman Nabi SAW)
c). Zaid Bin Haritsah (Anak angkat Nabi SAW)
d). Abu Bakar Ash-Shidiq (Sahabat Dekat Nabi SAW)
Orang-orang yang masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar
Ash-Shidiq yaitu:
a). Utsman Bin Affan
b). Zubair Bin Awwam
c). Saad Bin Abi Waqqash
d). Abdurahman Bin Auf
e). Thalhah Bin “Ubaidillah
f). Abu Ubaidillah Bin Jarrah
g). Arqam Bin Abil Arqam
h). Fatimah Binti Khathab
Mereka itu diberi gelar “As-Saabiqunal Awwaluun” Artinya orang-orang yang terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam dan mendapat pelajaran tentang Islam langsung dari Rasulullah SAW di rumah Arqam Bin Abil Arqam.
a). Utsman Bin Affan
b). Zubair Bin Awwam
c). Saad Bin Abi Waqqash
d). Abdurahman Bin Auf
e). Thalhah Bin “Ubaidillah
f). Abu Ubaidillah Bin Jarrah
g). Arqam Bin Abil Arqam
h). Fatimah Binti Khathab
Mereka itu diberi gelar “As-Saabiqunal Awwaluun” Artinya orang-orang yang terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam dan mendapat pelajaran tentang Islam langsung dari Rasulullah SAW di rumah Arqam Bin Abil Arqam.
Penyebaran Islam Secara Terbuka
Sekitar tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan
secara diam-diam, Muhammad mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka
kepada masyarakat Mekkah, respon yang ia terima sangat keras dan masif, ini
disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang
sudah menjadi budaya dan pola pikir masyarakat Mekkah saat itu. Pemimpin Mekkah
Abu Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan
hidup orang Mekkah, akibat penolakan keras yang datang dari masyarakat
jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin Quraisy
yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal disiksa, dianiaya,
dihina, disingkirkan, dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat Mekkah.
Walau mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan
pengikut dalam jumlah besar, para pengikutnya ini kemudian menyebarkan
ajarannya melalui perdagangan ke negeri Syam, Persia, dan kawasan jazirah Arab.
Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik kemudian datang ke Mekkah
dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad, penampilan dan
kepribadiannya yang sudah terkenal baik memudahkannya untuk mendapat simpati
dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi semakin mudah
ketika Umar bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi suku Quraisy lainnya
memutuskan untuk memeluk ajaran islam, meskipun banyak juga yang menjadi
antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di Mekkah dan Medinah.
Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari negeri Farsi (sekarang
Iran), salah satu yang tercatat adalah Salman al-Farisi, seorang ilmuwan asal
Persia yang kemudian menjadi sahabat Muhammad.
Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama
periode ini mendorong lahirnya gagasan untuk berhijrah (pindah) ke Habsyah
(sekarang Ethiopia). Negus atau raja Habsyah, memperbolehkan orang-orang Islam
berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah.
Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar
200 mil (320 km) di sebelah Utara Mekkah.
Rasulullah SAW Hijrah
ke Madinah
Masyarakat Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke
Mekkah untuk beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai
tradisi keagamaan dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini sebagai
peluang untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang tertarik
dengan ajarannya ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad
dan beberapa orang yang telah terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di
suatu tempat bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam,
mereka lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari
kekejaman penduduk Mekkah.
Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib
datang lagi ke Mekkah, mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu
sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum
menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang
orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib dikarenakan situasi di
Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para pemeluk Islam. Muhammad akhirnya
menerima ajakan tersebut dan memutuskan berhijrah ke Yastrib pada tahun 622 M.
Mengetahui bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan
Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka beranggapan
bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat peluang untuk
mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas. Setelah selama
kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan dan
serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke
Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622
dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi).
Di Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam diwujudkan di
bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (salat) dan bermasyarakat
di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi. Dalam periode setelah
hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian serangan, teror,
ancaman pembunuhan dan peperangan yang ia terima dari penguasa Mekkah, akan
tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang saat itu
telah bersatu di Madinah.
Pembebasan Kota Mekkah
Tahun 629 M, tahun ke-8 H setelah hijrah ke Madinah,
Muhammad berangkat kembali ke Makkah dengan membawa pasukan Muslim sebanyak
10.000 orang, saat itu ia bermaksud untuk menaklukkan kota Mekkah dan
menyatukan para penduduk kota Mekkah dan madinah. Penguasa Mekkah yang tidak
memiliki pertahanan yang memadai kemudian setuju untuk menyerahkan kota Makkah
tanpa perlawanan, dengan syarat kota Mekkah akan diserahkan tahun berikutnya.
Muhammad menyetujuinya, dan ketika pada tahun berikutnya ketika ia kembali, ia
telah berhasil mempersatukan Mekkah dan Madinah, dan lebih luas lagi ia saat
itu telah berhasil menyebarluaskan Islam ke seluruh Jazirah Arab.
Muhammad memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji,
memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka'bah, dan kemudian
memberikan amnesti umum dan menegakkan peraturan Islam di kota Mekkah.
Mukjizat Rasulullah SAW
Seperti nabi dan rasul sebelumnya, Muhammad diberikan
irhasat (pertanda) akan datangnya seorang nabi, seperti yang diyakini oleh umat
Muslim telah dikisahkan dalam beberapan kitab suci agama samawi, dikisahkan
pula terjadi pertanda pada masa di dalam kandungan, masa kecil dan remaja.
Muhammad diyakini diberikan mukjizat selama kenabiannya.
Umat Muslim meyakini bahwa Mukjizat terbesar Muhammad adalah
Al-Qur'an, yaitu kitab suci umat Islam. Hal ini disebabkan karena kebudayaan
Arab pada masa itu yang masih barbar dan tidak mengenal peradaban, namun oleh
Al-Qur'an hal itu berubah total karena Qur'an membawa banyak peraturan keras
yang menegakkan dasar-dasar nilai budaya baru di dunia Arab yang sebelumnya
tidak berperadaban serta mengeliminasi akar-akar kejahatan sosial yang mengakar
di dunia Arab, serta pada masa yang lebih dekat mengantarkan pemeluknya meraih
tingkat perabadan tertinggi di dunia pada masanya.
Mukjizat lain yang tercatat dan diyakini secara luas oleh
umat Islam adalah terbelahnya bulan, perjalanan Isra dan Mi'raj dari Madinah
menuju Yerusalem dalam waktu yang sangat singkat. Kemampuan lain yang dimiliki
Muhammad adalah kecerdasan serta kepribadiannya yang banyak dipuji serta
menjadi panutan para pemeluk Islam hingga saat ini.
Ciri Fisik Muhammad
Beberapa hadist meriwayatkan beberapa ciri fisik yang
diceritakan oleh para sahabat dan istrinya. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa
Muhammad berperawakan sedang, berkulit putih kemerahan, berjanggut tipis, dan
digambarkan memiliki fisik yang sehat dan kuat oleh orang di sekitarnya.
Riwayat lain menyebutkan Muhammad bermata hitam, tidak berkumis, berjanggut
sedang, serta memiliki hidung bengkok yang sesuai dengan ciri antropologis
bangsa Semit pada umumnya.
Pernikahan dan Isteri
– Isteri Rasulullah SAW.
Selama hidupnya Muhammad menikah dengan 11 atau 13 orang
wanita (terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini). Pada umur 25 Tahun ia
menikah dengan Khadijah, yang berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah
wafat. Pernikahan ini digambarkan sangat bahagia, sehingga saat meninggalnya
Khadijah (yang bersamaan dengan tahun meninggalnya Abu Thalibpamannya) disebut
sebagai tahun kesedihan.
Selain Khadijah, isteri-isteri beliau adalah: Saudah binti
Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Zainab binti Khuzaimah,
Ummu Salamah (Hindun binti Umayyah), Zainab binti Zahsy, Juwairiyah binti
Al-Harits, Ummu Habibah (Ramlah), Shafiyah binti Huyay, Maimunah binti
Al-Harits dan Maria Al-Qibtiyah.
Sepeninggal Khadijah, Khawla binti Hakim menyarankan
kepadanya untuk menikahi Sawda binti Zama (seorang janda) atau Aisyah (putri
Abu Bakar, dimana Muhammad akhirnya menikahi keduanya. Kemudian setelah itu
Muhammad tercatat menikahi beberapa orang wanita lagi hingga jumlah seluruhnya
sekitar 11 orang, dimana sembilan di antaranya masih hidup sepeninggal
Muhammad.
Nabi Muhammad menikahi mereka semua setelah Khadijah
meninggal dunia. Dan mereka semua beliau nikahi dalam keadaan janda, kecuali
Aisyah ra.
Para ahli sejarah antara lain Watt dan Esposito berpendapat
bahwa sebagian besar perkawinan itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan politik
(sesuai dengan budaya Arab), atau memberikan penghidupan bagi para janda (saat
itu janda lebih susah untuk menikah karena budaya yang menekankan perkawinan
dengan perawan).
Putra Putri Nabi
Muhammad Saw
Putra putri nabi Muhammad saw adalah: Qasim, Zainab, Ruqayyah,
Ummu Kultsum, Fathimah, Abdullah dan Ibrahim. Mereka semua lahir dari rahim
Khadijah kecuali Ibrahim dari Maria Al-Qibtiah. Anak-anak beliau yang laki-laki
semuanya meninggal sebelum usia dewasa.
Nabi Muhammad Saw
Wafat
Beliau saw wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11
Hijriyah di waktu Dhuha dengan usia 63 tahun.
Itulah sejarah singkat kisah nabi besar kita Muhammad SAW. Semoga
dengan membaca kisah beliau kita semakin mencintai beliau dan menjadikannya
sebagai panutan. Amin.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad
http://www.kumpulansejarah.com/2012/10/sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw-lengkap.html#
http://bloggerbondowoso24.blogspot.com/2013/05/sejarah-kelahiran-nabi-muhammad-saw.html
Biografi Ali Bin Abi Thalib
Dari seluruh sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib adalah salah satu
yang pertama kali memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama
Rasulullah saw. Ia memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kedudukan
ini sangat istimewa diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat
kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat
disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi
berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang
mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu.
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5] Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda.
Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Sumber Artikel : makalahmajannaii wikipedia Viosixwey
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman
dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah
putera Ali bin Abi Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan
puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah
memperoleh keturunan. Ali semanjak kecilnya sudah dididik dengan adab
dan budi pekerti Islam, dia termasuk orang yang sangat fasih berbicara
dan pengetahuannya juga tentang Islam sangat luas sehingga tidak heran
dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW.
Ali menggantikan kekhalifahan Usman bin Affan yang telah meninggal
sebelum jabatannya berakhir selama kurang lebih sekitar lima tahun,
setelah sebelumnya dilakukan bai’at, dia banyak melakukan perubahan
hukum ketatanegaraan seperti kebijakan tentang hak pertanahan, pembagian
harta warisan perang. Juga timbul bermacam-macam masalah yang dapat
mempengaruhi kemajuan dan kemunduran negara Islam. Dalam makalah ini
akan dijelaskan mengenai sejarah kemajuan dan kebijakan politik pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib serta kemunduran akibat
pemberontakan-pemberontakan yang ditandai perang terbuka antar umat
Islam.
A. ALI BIN ABI THALIB
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya
kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim
Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap
Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat
menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun
bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman
Rasulullah SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu
Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan
disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu
yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka,
karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di
sisi Allah).
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah
SAWkarena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga
Abu Thalib memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau
Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini
sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi
sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah
bersama dengan Muhammad. Ketika Rasulullah SAW menerima wahyu,
riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki
pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya
setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar
10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari
Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat
dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama
Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada
pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal
dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi
tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur
ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus
disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya
bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas
masing-masing. Didikan langsung dari Rasulullah SAW kepada Ali dalam
semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan
bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda
yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam berbicara, dan salah
satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.[4]
Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa dan selalu
hadir pada setiap peperangan karena itu dia selalu berada di barisan
paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.
B. Pembaiatan ali bin abi thalib sebagai khalifah dan kemajuan yang dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5] Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan
Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai
beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi
kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka
lakukan sebelumnya. Ali Terpilih menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan
pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai
orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan.
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar
yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan
kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan
lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan,
hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum
elit dan kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka
akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali.
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melakukan kebijakan politik seperti sebagai berikut:
1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
2. Memecat Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru
3. Mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman
bin Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak
diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul
maal.[8]
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit
mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir
Arab dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang telah
ditaklukkan Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian
Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah
dan Mesir. Serta pada masa Usman di Sijistan, Khurasa, Azarbaijan,
Armenia hingga Georgia.
Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga seorang penyair ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan berujung pada .....,
Syair-syair Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah.
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40
H/656-661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu
sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya
praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah
pemberontkan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di
atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia dan
mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara yang teratur dan
mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali
berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter.
Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang sangat wajar
dan pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat
pertentangan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk
memperebutkan kekuasaan yang diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya
Usman dan juga pemecatan-pemecatan pejabat serta pengembalian harta
milik yang tidak jelas.
C. PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena
ia adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang
tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas
intelektual yang memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya,
sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang
juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah
dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki
khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah
diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang
ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi
Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan
mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat
Muawiyah yang pada saat itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota
menjadi kota yang sangat strategis dan memiliki tentara yang cukup
loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat tidak tinggal diam dan ingin
melakukan pemberontakan.
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang
patut disalahkan dalam hal kematian khalifah Usman bin Affan dan
tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah
sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan
kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali.
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang
besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam
pembunuh itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai
khalifah.
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak
terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap
berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior
sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi
Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam
masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas,
dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah
dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa
implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali.
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah
wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung
selama lima tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”,
suatu masa perang saudara untuk menguasai komunitas muslim dan
teritori-teritori taklukannya yang luas”.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas
dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk
perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya
terlibat para sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali
yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu
kemunduran pergerakan Islam
D. PERANG JAMAL/ONTA
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda
Rasulullah SAW dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan
dengan mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir
Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali
sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang
menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut
sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu
dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian
Utsman bin Affan terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan
Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke
Mekkah kemudian disusul oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini
nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa hukum akan ditegakkan. Karena
menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri karena ia
didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan dari
keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya mereka
pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat
dukungan masyarakat setempat.
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar
bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan pasukannya
untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya
untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana,
tiga orang tokoh terkenal yaitu Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah,
dan Zubair beserta para pengikutnya di Basrah telah siap untuk
memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk
memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas
atas kematian Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara
dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa tuduhan
selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali
memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan
jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan
sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir ada
faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi
khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak
terhadap Ali.
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam
peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan
diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan
menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang
ini, sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga akhirnya
ontanya dapat dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali tidak
mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke
Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena kenigninan dan
nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan
Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin
Zubair bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian
menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak
terhadap Ali bin Abi Thalib.
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan
dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan
Thalhah. Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan
perang. Ia memberi bagian yang sama kepada semua orang tanpa memandang
status, suku dan asal-usul mereka.
E. PERANG SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung
Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat
tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan
Shafar tahun 37H/658M.
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam
hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di
Syam sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas kematian
Utsman kepada Ali agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah
Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit
dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk
memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada
waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah.
Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk
mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau
meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan
sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai
syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai
dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan
pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali,
diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah mengadakan kampanye
besar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan
dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya.
Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah
Ali. Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu
sebenarnya tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada
ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia
sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada
masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan
oleh Mu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia
politik dan mempunyai peran yang sangat penting dalam peristiwa perang
Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk
menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan pasukan
dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan
dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari
perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau
meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya
untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar
Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir
memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap
melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan
kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta
berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan
berat hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu
hanya sisat busuk dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini
pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang
mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat
keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan.
Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya,
Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan
kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari
jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian
mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan
sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak
menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan
menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak
mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini
kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang
tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa
tindakan itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar
dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk
gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’.
Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku
arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena
tidak berhukum pada hukum Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr
bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase
adalah kafir.
Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja,
tetapi kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama
Islam
F. AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian
pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta
dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari
Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah
menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal
tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan
kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang
tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil
membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40
H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi
membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada
Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan
tersebut.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan
selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara
Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian
ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu
juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun
41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut
dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah
dalam sejarah politik Islam.
Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sunni
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:- "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keturunan Ali bin Abi Thalib
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan
memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang
terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan
Husain.Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Anak laki-laki | Anak perempuan |
---|---|
Hasan al-Mujtaba | Zainab al-Kubra |
Husain asy-Syahid | Zainab al-Sughra |
Muhammad bin al-Hanafiah | Ummu Kaltsum |
Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl) | Ramlah al-Kubra |
Abdullah al-Akbar | Ramlah al-Sughra |
Ja'far al-Akbar | Nafisah |
Utsman al-Akbar | Ruqaiyah al-Sughra |
Muhammad al-Ashghar | Ruqaiyah al-Kubra |
Abdullah al-Ashghar | Maimunah |
Abdullah (yang dijuluki Abu Ali) | Zainab al-Sughra |
‘Aun | Ummu Hani |
Yahya | Fathimah al-Sughra |
Muhammad al-Ausath | Umamah |
Utsman al-Ashghar | Khadijah al-Sughra |
Abbas al-Ashghar | Ummu al-Hasan |
Ja'far al-Ashghar | Ummu Salamah |
Umar al-Ashghar | Hamamah |
Umar al-Akbar | Ummu Kiram |
Sumber Artikel : makalahmajannaii wikipedia Viosixwey
Langganan:
Postingan (Atom)